Succinct Monologue

Writing, Sharing, Reading, Being Understanding

Wujud Keadilan

Beberapa waktu lalu di suatu malam saat aku sedang mengkaji kitab Fiqh Islam yang ditulis oleh H. Sulaiman Rasjid, aku sampai pada sebuah sub bab dari bab Thaharah tentang hal-hal yang membatalkan wudhu. Saat itu guru saya menerangkan, bahwa hal-hal yang membatalkan wudhu diantaranya adalah hilangnya akal, meliputi mabuk, gila, juga termasuk “ayan” (atau sering juga disebut epilepsi) –sejenis penyakit yang ketika kambuh, penderita akan mengalami kejang hebat dan hilangnya kesadaran secara penuh.

          Mendengar kata “ayan”, sebuah kejadian seakan langsung berkelebat dalam ingatanku. Saat itu aku sedang berada di tempat mbah kakung di Salatiga. Kemudian datang seorang tetangga depan rumah, laki-laki dan masih muda. Jika aku takar-takar mungkin usianya baru menginjak 20-an keatas. Kata mbah kakung dia memang sering datang untuk sekedar dolan dan berbincang-bincang. Dalam salah satu perbincangannya –aku yang berada disitu tentu tak mungkin untuk tidak mendengar- mengatakan bahwa laki-laki muda tersebut sudah pijat ke tukang urut selama tiga kali dalam sebulan ini. Kemudian ayahku yang juga berada disitu bertanya,
“Memang kerjanya apa kok sampai pijat ke tukang urut sesering itu?”

Laki-laki muda itu hanya menatap ayahku sambil tersenyum tanpa menjawab apa-apa. Lantas ayahku bertanya lagi, “Apa tiap hari nyangkul di sawah?”

Dan lagi-lagi pemuda itu tak menjawab apapun, dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

          Kemudian, setelah cukup lama berada di tempat mbah kakung akhirnya pemuda itu pamit untuk pulang. Dan saat mbah kakung kembali duduk di kursinya, akupun memberanikan diri untuk bertanya, “sebenarnya orang tadi kenapa mbah kakung? Kok sampai sesering itu ke tukang urut? Dan lagi, dia masih semuda itu tapi sudah jadi pengangguran. Enggak sekolah enggak juga bekerja, padahal dikaruniai fisik sempurna”

          Lantas mbah kakung menjawab, “Dia itu sebenarnya punya sakit ‘ayan’. Dia dulu sekolah, tapi hanya sampai kelas 6 SD. Dia takut kalau sewaktu-waktu sakitnya kambuh, makanya nggak mau ngelanjutin sekolah. Akhirnya kerjaannya ya dirumah saja karena memang tidak boleh kerja sama ibunya. Dan dulu kakaknya yang juga sakit ayan sudah meninggal karena saat kambuh dia jatuh ke api terus terbakar, mungkin ibunya takut kalau hal tersebut akan terjadi juga pada anaknya yang ini. Nah, masalah sering ke tukang urut itu, dia merasa frekuensi kambuh sakitnya jadi berkurang jika dia rutin mengurut badannya.”

***

          Sejenak aku tersadar sebelum akhirnya guruku akan melanjutkan materi fiqh ke sub bab selanjutnya. Maka sebelum itu, segera akupun bertanya terkait seseorang yang ditakdirkan sakit “ayan” dengan mengawalinya dari cerita saat berada di tempat mbah kakung. Setelah cerita selesai, aku berkata…
“Mungkin memang benar sudah menjadi takdirnya untuk memiliki penyakit seperti itu. Tapi rasanya betapa kasihan saat aku membayangkan dia harus berhenti sekolah, tidak bisa bekerja, dan seterusnya hanya teronggok dirumah. Pasti membosankan. Sementara banyak orang bisa hidup dengan normalnya, menghadapi masalah lantas menyelesaikannya, menaikkan derajat diri, mengukir prestasi, bahkan menantang dunia. Alangkah tidak adil sepertinya. Tapi sayangnya, setidak adil apapun kita merasa, Allah tetaplah Maha Adil terhadap setiap takdir yang telah ditetapkan-Nya”

          Jauh dalam benakku, sebenarnya aku terpikir, mungkin saja nasehat ini yang sedang berlaku untuk pemuda itu, bahwasannya, Rasulullah bersabda, “Ada hamba-hamba yang memiliki kedudukan di surga, tetapi amalannya tidak cukup untuk mengantarkannya ke sana, maka Allah senantiasa memberinya ujian kesusahan hingga ia mencapai kedudukan itu." (HR Ibnu Hibban dalam shahihnya).

Di sela-sela kajian, kami memang sering membahas hal-hal yang terkadang diluar topic seperti sekarang. Juga terkadang saling bertukar pengalaman yang kurasa sangat bisa memperkaya wawasan. Seperti pepatah mengatakan, “kenapa kita harus belajar dari pengalaman orang lain? Sebab kita tidak akan punya cukup waktu dalam hidup untuk mengalami semuanya sendirian”

Setelah mendengar semua ceritaku, guruku pun memberi jawaban, “Ohh.. iya, saya mengerti maksud kamu. Tapi sekarang coba saya tanya, adil itu apa?”

“Adil itu.. membagi sama rata. Eh, iya bukan ya?” kataku ragu-ragu.

Guruku lantas tersenyum dan membenarkan jawabanku, “Adil itu… menempatkan sesuatu pada tempatnya. Nah, menempatkan sesuatu pada tempatnya itu bukan berarti harus sama semua. Misal, bagaimana kalau semua orang jadi PNS? Bagaimana kalau semua orang kaya raya? Pasti dunia ini tidak akan bisa berjalan kan? Bukan berarti orang yang lebih kekurangan dari kita itu tidak bahagia hidupnya, bisa jadi kita yang berkecukupan justru tidak lebih bahagia dari mereka yang kekurangan. Semuanya pasti sudah diatur secara adil meskipun tidak semuanya bisa kita lihat wujud keadilannya”

          Semua yang dikatakan guruku memang benar. Tapi sebenarnya, tidak aku pungkiri bahwa sebelum ini aku juga pernah merasa seperti dalam sebuah ketidak adilan. Saat aku sakit dan harus cuti kuliah. Dimana aku merasa sangat sedih karena cuti itu tentu akan menunda kelulusanku. Dan jika kelulusanku tertunda, terus kapan aku mau menik…. (halah, skip..skip!). Dan setelah kembalinya aku ke  perkuliahan, akupun harus belajar tanpa teman-teman seangkatan karena mereka telah terlebih dulu menyelesaikan semuanya. Kemudian kembali aku juga harus menyesuaikan kelas bersama orang-orang yang belum begitu kukenal, yakni adik angkatanku. Terlebih jika nanti ada yang akan melihatku dengan tatapan rendah karena ketertinggalanku ini. Betapa pasti terasa sangat sulit untuk menjalani semuanya. (Nah..nah.. ini adalah contoh dari rasa takut yang mengada-ada. Jangan ditiru hehe)

          Tapi seiring berjalannya waktu, setelah aku mulai bisa menerima bahwa mungkin memang jalannya harus seperti ini, aku mulai bisa bersahabat dengan keadaan. Toh kita memang tidak bisa memilih takdir kita sekarang ataupun akan seperti apa takdir kita nanti. Sebab ia sudah menjadi harga mati. Tapi meskipun ia harga mati, kita tetap diberi kewenangan untuk membayar harga mati itu dengan "cara kita masing-masing". Yang pasti, telah datang seorang utusan yang menyampaikan kabar gembira pada umatnya, bahwa setiap takdir yang menimpa mereka adalah BAIK. Jika mereka diberi nikmat, mereka bersyukur. Dan bila ditimpa musibah, maka tiadalah sikap yang lebih baik selain daripada bersabar (cieee.. is-ti-mewa!)

  Hingga akhirnya… banyak sekali hal, banyak sekali pengalaman, juga pelajaran hidup yang kudapat selama aku cuti kuliah, yang mungkin tidak akan bisa aku dapat andai aku masih tersibukkan dengan rutinitas perkuliahan. Aku mulai bisa menghargai hal-hal yang dulu tampak tak berharga. Kesehatan misalnya, bagaimana tidak? untuk kembali menjadi sehat seperti ini, berpuluh-puluh juta harus orang tuaku keluarkan. Berbulan-bulan waktu juga harus mereka luangkan hanya untuk merawatku agar kembali sehat seperti sekarang. Dan selain itu, akhirnya aku bisa mentertawai hal-hal yang saat aku kuliah dulu, entah kenapa rasanya tak lucu tapi sekarang bisa membuatku tertawa dengan ikhlas. Sebagai misal saat aku menonton adegan dalam film 3 Idiots dimana Rancho menulis kata “Prerajulation” dan “Farhanitrate”. Atau saat adegan dimana seorang dosen sedang mengajar perkuliahan tentang mesin. Justru anehnya, semua itu tampak lucu setelah aku menonton untuk yang kesekian kalinya.

  Yah, jika teringat tentang cuti kuliah, rasa kecewa pasti selalu ada. Tapi mau bagaimana lagi, semua tetap berjalan, harus dijalani.. sebab waktu tiada pernah mau tahu, dia tetap berlalu membawa cerita baru, membawa permasalahan-permasalahan yang baru. Dan jika hidup ini memanglah medan ujian. Maka hanya kesabaran yang dapat menuntun kemenangan di pertempuran (mangatssss!)

  Pada intinya, mungkin saja keadilan bagi pemuda yang sebelumnya aku ceritakan itu karena Allah hendak menyampaikan ia pada kedudukannya yang pantas di surga dengan ujian sakit yang sedemikian rupa. Sedang aku.. rasanya aku mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin nyaris sama dengan apa yang didapat Raju setelah ia mencoba bunuh diri karena hendak di DO dari kampus. Sesuatu yang mungkin memang adil dan pantas untuk dibayar dengan harga sebuah cuti kuliah.

Keadilan bagi setiap orang itu tampak dalam wujud yang berbeda-beda, bahwa adil itu... memang tidaklah selalu berarti sama rata. Misal saja dalam rupa kekayaan…
Sebab kekayaan bagi mereka yang sakit adalah kesehatan, bukan melimpahnya harta.
Sebab kekayaan bagi mereka yang mandul adalah seorang keturunan, bukan emas, intan, maupun berlian.
Sebab kekayaan bagi mereka yang sebatangkara adalah sebuah keluarga, bukan istana yang megah lagi besar pilar-pilarnya.

0 comments:

Posting Komentar