Succinct Monologue

Writing, Sharing, Reading, Being Understanding

Dia Bukan Dilanku, Karena Aku Bukanlah Milea (Ch.1)

Semarang, bulan November 2010.

Cuaca belum begitu sering hujan di bulan itu, mungkin karena masih awal November. Namun seperti yang kita tahu iklim mulai sulit untuk di prediksi, mungkin semenjak isu global warming atau apalah itu. Seringkali siang begitu terik, namun sore atau malam hujan turun deras sekali.

Hari itu adalah Hari Sabtu. Seperti hari-hari Sabtu-ku yang biasanya, jam 2 adalah jadwalku untuk pulang kerumah.

Ah, hampir saja lupa. Aku belum memperkenalkan diriku, ya?
Aku adalah Setiti, harusnya nama panggilanku adalah Titi. Sayangnya, itu hanya berlaku saat aku masih kecil. Semenjak SMA teman-temanku mulai memiliki panggilan-panggilan unik untukku. Misalnya: Tit, Setit, Stich, dll.

Awalnya aku merasa asing setiap mendengar mereka memanggilku seperti itu, tapi lama-lama terbiasa juga. Malah membuatku merasa lebih mudah untuk akrab dengan mereka karena mereka membuat nama panggilan khusus untukku.

Hanya saja aku ada permintaan, saat memanggilku dengan sebutan "Tit", jangan pernah mengulang-ulangnya sekalipun aku tidak mendengar saat kau panggil. Karena itu akan tidak baik untuk mulutmu dan telinga orang lain. Percayalah.

Sedangkan nama lengkapku adalah Setiti Mulya.....ningsih.

Tak banyak yang tahu kalau di belakang nama Setiti Mulya masih ada Ningsih-nya. Habisnya, abangku suka mengganti nama Ningsih itu dengan Ningsihku~ Ningsihku~ Kuningsih~

Hingga akhirnya dia selalu memanggilku dengan nama Kuning, sampai saat ini. Padahal aku, bukan benci sih, hanya agak anti sama warna kuning. Jadinya kan kesel kalo malah dipanggil Kuning. Nggak tahu gitu kenapa, kurang suka aja. Dan itulah yang akhirnya membuatku memilih untuk menyembunyikan nama Ningsih-ku. Lagian, aku juga tidak begitu suka orang tahu banyak tentang diriku, meski hanya tentang nama lengkapku. Agaknya, itu kurang baik untuk privasiku kedepannya. Hmm

Aku terlahir di sebuah Kabupaten kecil di Jawa Tengah, namanya Kabupaten Grobogan, Kota nya sih ikut sama Kota Purwodadi meskipun rumahku ke Kota Purwodadi jaraknya jauh sekali. Pasti banyak dari kalian yang nggak tahu Kabupaten Grobogan, kan? Nggak apa-apa.

Jika kalian tahu tentang stasiun kereta api pertama yang pernah dibangun di negara kita di jaman penjajahan Belanda dulu, namanya adalah Stasiun Tanggungharjo, disitulah aku sering jalan-jalan saat sore. Bisa karena pengen lihat matahari tenggelam, atau memang karena lagi kurang kerjaan.

Di usia bangunan khas Belanda yang sudah tua, stasiun tersebut masih beroperasi sampai sekarang. Meski pernah satu waktu ada pihak yang berniat menjadikannya musium, namun kepala stasiun menolaknya. Sehingga sampai saat ini siapapun masih dapat menaiki kereta melalui Stasiun Tanggungharjo walaupun hanya terbatas untuk beberapa stasiun tujuan, dan tentu saja harus punya uang untuk membeli tiketnya, ya.

Tak jauh dari stasiun, jika kamu mau keliling sebentar, kamu akan melihat banyak rumah-rumah. Ya, benar, di salah satu rumah itulah aku lahir dan dibesarkan. Maksudku, aku hanya sedang berusaha menjelaskan dimana tempat aku tinggal, di Kabupaten Grobogan, dengan mengaitkannya pada tempat yang lebih mudah jika kalian ingin menemukannya di google map atau peta.

Selanjutnya, bagaimana seorang anak dari desa sepertiku bisa nyasar ke salah satu SMA, yang katanya, adalah SMA elit di Kota Semarang? Ceritanya panjang dan nggak penuh perjuangan juga, sih. Mungkin lain kali saja kuceritakan, tentu jika ada kesempatan dan aku tidak malas untuk menceritakannya.

Yang saat ini lebih penting untuk kusampaikan adalah, pada waktu bagian aku merujuk pada kisah yang kutulis ini sedang terjadi, aku sedang duduk di kelas 3 SMA. Yang artinya, aku sudah hampir 3 tahun di Semarang. Menjadi anak kos-kosan yang setiap Sabtu sore pulang kerumah dan kembali ke Semarang di Senin pagi setelah subuhan. Oleh karena itulah, jangan tanya kenapa setiap Hari Senin aku sering tidur, atau paling tidak, sering mengantuk di kelas.

Sebelum kulanjutkan ceritanya, aku ingin minta maaf karena di cerita ini aku harus mengganti nama beberapa orang demi menjaga privasi dan identitas mereka, juga beberapa tempat demi menghindari timbulnya persoalan atau masalah kedepannya.

Aku juga ingin menegaskan bahwa aku tidak memiliki maksud apapun lebih-lebih maksud negatif sekalipun dengan mengulik kembali kisah SMA ku ini. Aku hanya barusaja selesai membaca novel Pidi Baiq yang membuatku kembali teringat masa-masa SMA ku. Masa yang indah bagiku, versiku, dari sudut pandangku. Masa yang sungguh ingin aku ceritakan, sebelum kelak aku menua dan benar-benar akan tidak mampu untuk mengingatnya.

Pic From Pinterest

Jadi, bila kau adalah teman SMA ku, lebih-lebih teman sekelasku di kelas 3, kau pasti akan langsung tahu siapa orang-orang yang terlibat dalam cerita ini meski aku sudah menggunakan nama-nama samaran pada mereka.

Barangkali juga, kaupun tidak pernah menyangka aku memiliki kisah seperti ini karena begitu pandainya, aku dimasa itu, dalam menyembunyikan dan menutupi semuanya. Sehingga satu waktu ketika kelak kita berjumpa lagi, teman-teman SMA ku yang kini sangat aku rindukan, mungkin dalam sebuah reuni atau acara apapun itu, silahkan untuk tidak mengungkit cerita ini.

Ini hanya tentang kisah masa lalu, yang menyenangkan untuk dikenang, yang terlalu manis untuk dilupakan, yang teramat berharga dan sayang bila harus dibuang begitu saja. Bukankah kaupun juga memiliki masa-masa indah SMA versimu? Yang bahkan mungkin karena terlalu indahnya, kau sampai tidak berani menceritakannya pada orang terkasihmu sekarang karena takut merusak kebahagiaan yang sudah kalian bangun? Itulah maksudku. Semoga kau paham mengapa aku memintamu untuk tidak menyinggungnya diluar tulisanku. 

Mari kita mulai ceritanya.

"Ti, jam 2 kujemput ya"
Kubaca SMS dari Mbak Alfiani.

"Oke", balasku.

Mbak Alfi adalah teman seperjuanganku dari desa untuk sekolah ke SMA di Kota Semarang ini. Masih ada juga Kusuma dan Ngesti. Awalnya kami satu kosan, namun Mbak Alfi memilih pindah entah kenapa. Padahal aku, Kusuma, dan Ngesti belum pernah pindah kosan sekalipun selama tiga tahun di Semarang. Namun Mbak Alfi sudah berkali-kali. Mungkin dia memang lebih suka hidup menjadi siswi SMA nomaden daripada harus menetap di satu kosan. Pikirku saat itu, sih.

Dia juga bukan kakak kelasku. Meskipun aku memanggilnya "Mbak", kami adalah seangkatan. Mungkin karena udah kebiasaan dari SMP begitu. Jadi masih kebawa terus.

Pukul 2 lebih, aku lupa lebih berapa, Mbak Alfi menjemputku bersama motor jupiter biru dengan jeruji orange khas miliknya. Aku memang lebih suka nebeng dia daripada harus bawa motor sendiri saat pulkam (pulang kampung alias balik rumah). Selain mengurangi polusi, hemat bensin, kami juga jadi nggak capek karna nyetirnya bisa gantian. Bisa mengurangi kemacetan juga sih meskipun hanya satu space motor. Hahaha

"Ti, kita mampir kerumah Riska dulu ya?"

"Ngapain, Mbak?", tanyaku.

"Jenguk Kinara. Dia habis kecelakaan"

"Innalillahi. Iyadeh. Sama Riska aja?"

"Nggak, sama temen-temen IPA 5 yg lain". Katanya.

Maksudnya adalah teman-teman Mbak Alfi saat kelas 11 IPA 5 dulu. Karena Kinara juga dulunya dari 11 IPA 5.

"Yah.. nggak enak dong aku, Mbak. Aku kan bukan dari IPA 5"

"Gak apa-apa. Cuma beberapa anak aja, kok"

Kupikir, yasudahlah. Kan aku juga temenan sama Kinara. Jadi ikutan jenguk aja. Kan, sekalian aku mau pulkam.

Setelah sampai di rumah Riska yang berada di kompleks dekat SMA 2 Semarang, aku sudah melihat beberapa orang berkumpul disana. Tentunya, anak-anak yang dulunya dari kelas 11 IPA 5. Lalu datanglah teman sekelasku yang sekarang, Fahri dan Dilan. Ah, aku baru tahu kalau ternyata mereka teman sekelas Mbak Alfi juga waktu di IPA 5.

"Eh kok ada Setiti?", Tanya Riska. Sambil menyuguhkan kami beberapa aqua gelas dan camilan.

"Iyanih. Soalnya sekalian mau pulkam sama Mbak Alfi. Gapapa kan? Hehehe", kataku.

Riska dan yang lainnya pun tersenyum ramah, mengiyakan.

Setelah dirasa semua yang ingin ikut menjenguk Kinara sudah berkumpul. Kami berangkat dari rumah Riska ke rumah Kinara. Saat itulah aku baru mengerti kenapa kami berkumpulnya di rumah Riska. Karena yang paling dekat kerumah Kinara.

Dari rumah Riska kami melaju melewati jalan di depan SMA 2 Semarang. Setelah sampai di ujung gang, kami harus menyeberangi jalan besar yakni Jalan Raya Majapahit untuk bisa kerumah Kinara.

Fahri dan Dilan berada paling depan, siap untuk menyeberang. Sedangkan aku yang saat itu membonceng Mbak Alfi, sibuk membuka HP ku, siapa tahu ada SMS dari bapak yang bertanya aku sudah sampai dimana. Tapi ternyata tidak ada. Ah, aku lupa bapak ku kan memang begitu. Jika dirasa anak perempuannya ini belum kesorean untuk belum tiba dirumah, tidak akan ada SMS yang masuk dari bapak untukku.

Aku memasukkan kembali HP ku ke dalam tas. Saat pandanganku sudah teralih kedepan, tiba-tiba saja aku langsung melihat motor yang dinaiki Fahri dan Dilan terlempar cukup keras ke jalanan. Aku betul-betul tidak memahami apa yang barusan kulihat. Apa mungkin mataku sedang tidak waras? Tapi selain yang tadi kulihat, aku juga mendengar suara tumbukan cukup keras dari arah yang sama.
Semua orang disekelilingku shock. Aku jadi ikut-ikutan

Mataku terus mencari-cari apa yang sebenarnya terjadi. Meski diriku diliputi rasa panik, namun hatiku terus berdoa semoga semua baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian ada yang memberi komando agar kami menyeberang. Sehingga akhirnya aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sambil Mbak Alfi membawa motor menyeberangi Jalan Raya Majapahit.

Rupanya, saat Dilan dan Fahri akan menyeberang, Dilan yang duduk di depan menyetir motornya sedang menengok ke kiri untuk melihat apakah ada motor melaju dari arah sana. Saat itulah melaju juga sebuah motor yang dikendarai oleh pasangan separuh baya yang datang dari arah kanan dan menabraknya.

Melihat kerusakan kedua motor, aku langsung mencari-cari sosok kedua temanku itu dan dua orang paruh baya yang menabraknya. Syukurlah, mereka tidak terlalu parah hingga harus dirawat di rumah sakit.

Kukira, urusan akan bisa selesai dengan hanya kedua belah pihak mau untuk saling memaklumi dan memaafkan. Kedua temanku begitu, tapi sialnya, tidak untuk dua orang paruh baya tadi.

Mereka bilang, temanku yang menyeberang sembarangan sehingga harus mengganti rugi. Jika tidak, mari selesaikan di kantor polisi, katanya.

Fahri berjalan dengan menenteng helm yang tadi dipakainya ke arah rombongan kami.

"Kalian duluan aja ke rumah Kinara. Nanti aku sama Dilan nyusul", kata Fahri.

"Mana bisa begitu. Kita kan bareng-bareng. Kita pasti bantu sampai masalahnya selesai", jika aku tidak salah ingat, Riska yang mengatakan ini waktu itu.

Kulihat Dilan sedang menangani dua orang paruh baya tadi. Sikapnya tetap tenang. Justru dia masih sempat menoleh ke arah kami, tersenyum, sebagai tanda bahwa dia baik-baik saja sehingga kami tak perlu mencemaskannya.

Aku hampir-hampir tidak percaya. Sungguhkah yang kulihat tadi adalah Dilan. Anak yang tidak pernah serius di kelas itu? Tapi kini dia bisa tetap kalem menghadapi situasi seperti ini? Jika benar, maka dia baru saja berhasil menunjukkan sisi lain dirinya yang langsung membuatku kagum seketika itu.

"Itu permintaan Dilan. Dia bisa menyelesaikannya di kantor polisi. Jadi kalian duluan saja", kata Fahri lagi.

Aku memperhatikan Dilan yang berupaya meminta maaf kepada dua orang paruh baya tadi. Dia mengaku salah karena belum sempat menengok ke kanan saat akan menyeberang, tapi dia juga menjelaskan bahwa bukan hanya dirinya yang salah pada peristiwa itu. Dia meminta maaf lebih dulu sebagai sikap menghormati yang lebih tua.

Dua orang paruh baya tadi tetap terlihat rumit untuk diajak berkompromi. Aku tidak mengerti apa yang selanjutnya terjadi karena rombongan kami setuju untuk lebih dulu berangkat ke rumah Kinara dan membiarkan Dilan yang mengurus semuanya. Yah, tentu saja ada yang lebih sulit untuk kumengerti dari itu semua, yakni sosok lain Dilan yang baru kulihat hari ini.

Sempat terpikir olehku mungkin saja tadi kepala Dilan terbentur saat dia bertabrakan. Makanya dia jadi seperti bukan Dilan yang selama ini kukenal. Maksudku, yang baru beberapa bulan ini kukenal. Karena aku memang baru mengenal Dilan saat pertama masuk kelas 3. Tepatnya, bulan Juli di tahun yang sama.

Akhirnya rombongan kami melaju ke rumah Kinara setelah menyetujui permintaan Fahri dan Dilan. Aku bisa mengerti, sih. Bukan Dilan tidak mau kami membantunya. Tapi sebagian besar dari rombongan kami saat itu adalah perempuan. Jadi kau juga pasti mengerti mengapa Dilan menyuruh kami berangkat duluan. Lagi pula, jika rombongan kami yang jumlahnya sekitar belasan orang itu ikut ke kantor polisi, bukannya nanti malah dikira mau tawuran?

Sesampainya di rumah Kinara, kami disambut oleh Kinara dan keluarganya yang seolah sudah tahu bahwa hari itu kami akan datang. Mungkin salah seorang dari kami memang sudah ada yang memberitahu Kinara sebelumnya.

Kulihat kondisi Kinara cukup parah. Kira-kira ada luka di lutut dan siku kanannya. Luka yang di lutut membuat Kinara kesulitan berjalan sehingga dia hanya duduk saja selama kami disana.

Rasanya rumah Kinara yang tadinya hening seketika menjadi ramai dan jauh lebih hidup karena kedatangan kami. Ya, tentu saja begitu. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, rombongan kami sebagain besar adalah perempuan. Haha

Semua yang ada disana bercerita tentang apapun untuk menghibur Kinara. Ohya, sebelumnya kami juga telah menyerahkan beberapa buah tangan kepada Kinara. Buah tangan itu sepertinya sudah disiapkan di rumah Riska sebelum aku dan Mbak Alfi datang.

Singkat cerita, aku dan Mbak Alfi pamit untuk pulang duluan karena takut kesorean sampai di rumah.

"Hati-hati, ya" Kata Kinara dan teman-teman rombongan kami.

"Iya.. makasih, Kinara. Cepat sembuh", kataku dan Mbak Alfi.

"Aamiin.. makasih juga sudah jenguk".

Aku dan Mbak Alfi berdiri setelah selesai memakai sepatu yang tadi kami lepas sebelum masuk ke rumah Kinara. Tiba-tiba saja terdengar suara motor berhenti di depan rumah Kinara. Rupanya Fahri dan Dilan yang datang. Aku tak menyangka jika mereka benar-benar akan menyusul kami.

"Meh ning ndi, Set?" Kata Dilan setelah menurunkan standar motornya. Yang jika ditulis dalam bahasa Indonesia artinya adalah, "Mau kemana, Set?"

Dibanding saat aku kuliah, temanku yang memanggilku "Set" memang sedikit sekali pada waktu SMA dulu. Hanya Dilan dan satu orang lagi temanku di rohis, Iqbal namanya.

"Mau pulkam", jawabku. "Gimana tadi?"

Yang kumaksud adalah urusan tabrakan saat perjalanan ke rumah Kinara tadi.

"Sudah, kok", jawabnya.

Mendengar itu aku jadi bingung harus menanggapi lagi seperti apa. Meski aku penasaran, aku memilih diam karna tampaknya Dilan memang enggan membahasnya.

Aku juga tidak tau mengapa begitu Dilan datang aku terus saja memperhatikan dirinya. Mungkin untuk memastikan apakah kepala dia memang benar-benar habis terbentur. Atau mungkin keheranan seolah kini aku sedang melihat Dilan dari sudut pandangku yang lain.

"Memang rumahmu dimana to, Set?", tanya Dilan lagi.

"Di Purwodadi. Deket rumah Mbak Alfi"

"Oh.. jadi kalian sekampung?". Tanyanya lagi.

Begitulah Dilan. Dia terbiasa menggunakan pilihan kata yang kurang enak didengar. Jika aku dan Mbak Alfi adalah orang yang mudah tersinggung, maka kami pasti sudah menganggap bahwa Dilan baru saja mengatai kami anak kampung. Tapi karna kami sudah mengenal Dilan jadi kami nggak pernah mempermasalah hal sepele seperti itu.

"Main, Lan, kerumah Setiti", kata Fahri.

"Ayo, toh!" Jawabku menanggapi.

Aku tahu itu hanya basa-basi. Akupun begitu. Dan kami mengakhiri percakapan itu dengan tertawa bersama sambil aku dan Mbak Alfi pamit pada Fahri dan Dilan.




To be continue....



0 comments:

Posting Komentar